HAK ASASI MANSIA DALAM BERAGAMA
Oleh: I Wayan Astraguna
toleransi credit pulpenguru.blogspot.com |
Dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin modern, perkembangan prilaku serta pola pikir manusia juga semakin modern. namun hakekat manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat di hilangkan bahwa pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan makhluk lainya. Dalam prilaku interkasi manusia dengan makhluk lainnya perlu adanya keseimbangan dalam segala bentuk interaksi agar tidak terjadi konflik yang sering dinamakan dengan konflik sosial. Banyak hal yang dapat menyebabkan konflik sosial tersebut, mulai dari konflik sosial yang disebabkan oleh adanya sebuah kepentingan, ada pula konflik yang berlatarbelakang suku, agama, ras, adat istiadat dan lain sebagainya.
dalam fenemona yang terjadi belakangan ini, sudah banyak kita jumpai bagaimana keragaman agama juga sering menimbulkan adanya sebuah pertentangan dalam kehidupan sosial. Terjadinya konflik yang disebabkan oleh agama sering terjadi karena kurangnya toleransi antar umat beragama. Adanya sikap panatik yang berlebihan antar umat beragama menyebabkan munculnya rasa ego yang terjadi dalam diri para pemeluk agama. Sikap panatik yang berlebihan menyebabkan munculnya anggapan bahwa keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya lebih baik dari keyakinan dan kepercayaan yang diyakini oleh orang lain.
selain permasalahan tersebut di atas, memunculkan sebuah pandangan baru bahwa agama bukanlah menjadi sesuatu yang diyakini dalam menjalankan ajaran kebenaran melainkan agama lebih condong menjadi ajang persaingan dalam berkompetensi dalam kehidupan dengan agama yang satu dengan yang lainnya. Tidak jarang kita jumpai ada banyak oknum yang memaksa bahkan dengan kekerasan untuk ikut meyakini apa yang menjadi keyakinannya. Sedangkan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 jelas dikatakan bahwa setiap warga Negara berhak untuk memeluki agamanya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Selain UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 di atas, perlu di ingat bahwa kelahiran HAM juga menegaskan bahwa manusia memiliki hak sejak lahir dan hak tersebut tidak boleh di ganggu gugat oleh pihak manapun. Karena HAM adalah hak pokok atau hak dasar yang dimiliki manusia sejak dia lahir.
Begitu juga dalam kehidupan beragama, HAM juga menjadi sebuah dasar pemikiran dalam membangun kesadaran setiap manusia bahwa memeluk agama juga merupakan hak setiap manusia. Dengan demikian kita akan melihat lebih jauh bagaimana HAM dalam sudut pandang filsafat hukum.
1. Ilmu, Filsafat dan Agama
Ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan yang yang terkait dan relative dengan manusia. Dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berbeda di dalam diri manusia. Alat utama dalam diri manusia itu adalah piker, rasa dan keyakinan, sehingga dengan ketiganya manusia dapat mencapai kebahagiaan dalam dirinya.
Ilmu filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat akal fikiran manusia. Juga agama dapat berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi ketiga alat dan tenaga tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu filsafat dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diri manusia. Dikatakan relative karena ilmu, filsafat dan agama baru dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan manusia apabila ketiganya merepleksi dalam diri manusia. Dimana ilmu mendasarkan pada akal piker lewat pengalaman dan indria, dan filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dalam kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan otoritas wahyu. Jadi perlu dibedakan bahwa agama mendasarkan pada otoritas wahyu.
2. HAM dalam perspektif Filsafat Hukum
Dalam kajian Filsafat Ilmu Hukum bicara HAM berarti bicara persoalan mendasar atau hakekat dari HAM itu sendiri. Jawaban atas persoalan ini sama sulitnya ketika bertanya, apa itu hukum? Karena sejatinya obyek yang ditanyakan adalah penelusuran dari sesuatu asal dari sesuatu yang ada sampai menjamah pada esensi bukan hanya sesuatu yang partikular ditangkap oleh organ inderawi berdasarkan pengalaman. Secara fenomenologis, HAM yang kita kenal adalah HAM yang tidak hanya berkaitan dengan proteksi bagi individu dalam menghadapi pelaksanaan otoritas negara atau pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, akan tetapi juga mengarah kepada penciptaan kondisi oleh negara dalam mana individu dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Deskripsi ini dapat menyingkap apa yang ingin dicapai oleh HAM dalam artian teleologis, tetapi tidak merinci HAM mana yang ada,atau apakah HAM itu.
Dalam dinamika kenegaraan terdapat piagam-piagam HAM seperti Magna Charta (15 Juni 1215 ), Petition of Rights (1628), Hobeas Corpus Act (1679), Bill of Rights (1689 ), Declaration of Independence di Amerika Serikat, Declaration des Droits de L’Homme et Du Citoyen, Perancis (1789), yang kemunculannya bermula dari teori hak-hak kodrati. Eksistensi HAM itu dipahami sebagai hak kodrati yang diberi alam sebagai hakekat kodrati manusia, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dari harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh Negara.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa HAM beragama dalam tinjauan filsafat ilmu hukum bertumpu pada cara pandang dalam melihat hakekat eksistensi HAM itu sendiri. Pandangan hukum alam memandang HAM Beragama bersifat otonom sebagai konsekuensi dari kodrati yang diberikan Tuhan untuk kemuliaan manusia. Dalam pemikiran modern hak-hak kodrati yang bersumber dari hukum alam itu
dapat dirumuskan secara humanistik melalui nalar rasional tanpa harus mengkaitkan dengan keberadaan Tuhan.
Namun sifatnya yang apriori dan tak dapat dirumuskan secara sistemik dalam menjawab kepastian hukum maka pandangan Hukum Kodrat ini telah ditinggalkan dan mulai bergeser kepada bagaimana prinsip-prinsip universal hak-hak kodrati itu dipositifkan ke dalam hukum riil negara. Pada tahap ini muncul pemikiran ideologis (utilitarian) dan nonideologis objektif utopis Hans Kelsen dengan “hukum murni”nya. Arah perkembangan pemikiran itu menimbulkan tirani mayoritas di satu sisi dan penyempitan makna hukum di sisi yang lain (legisme) sehingga melahirkan kritik yang di antaranya antiutilitarian.
Pandangan Antiutilitarian yang meskipun utopis dan melanggengkan ketimpangan sosial yang ada tetapi mereka menginginkan ada satu pemerataan kebahagiaan kepada tiap-tiap individu tanpa harus melenyapkan keberadaan negara. Karena itu HAM harus seutuhnya diberi kebebasan dan kesempatan yang sama.
Komentar
Posting Komentar