Teori rasa dalam Kitab Itihasa
Oleh : I Wayan Astraguna
sembahyang credit bali.tribunnews.com |
Pendahuluan
Hindu merupakan agama yang universal dan Veda yang diyakini sebagai sumber ajaran Hindu memiliki kebenaran yang tidak perlu untuk di perdebatkan. Seperti dalam kutipan sloka Manawa Dharma Sastra XI.10 di ungkapkan bahwa :
Srutistu wedo wijneyo dharma
Sastram tu wai smerth,
Te sarrtheswamimamsye tab
Hyam dharmohi nirbabhau.
Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Veda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran Dharma.
Dari sloka di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya ajaran-ajaran Hindu yang tertuang dalam kitab suci agama Hindu merupakan suatu ajaran kebenaran yang didalamnya mengandung banyak nilai-nilai filosofis. Dalam mengkomunikasikan ajaran Hindu, Veda digolongkan dengan beberapa bagian dan dua klompok besar Veda dinamakan dengan Sruti dan Smerti. Tujuan pengelompokan Veda ini tiada lain adalah untuk mempermudah memahami ajaran Veda itu sendiri.
Kelompok Sruti yang terdiri dari catur Veda Samhita (Reg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda) dan kelompok semerti yang terdiri dari Upanisad, Itihasa, Purana, Kitab-kitab Agama, Arthasastra, Ayur Veda, Gandarwa Veda, Kamasutra dan lain sebagainya.
Dalam usaha memahami ajaran agama Hindu yang begitu komplit dan luas maka kitab Itihasa yang dikenal dengan Mahabharata dan Ramayana serta kitab-kitab Purana digunakan sebagai dasar dalam memahami ajaran agama Hindu yang begitu luas. Seperti yang dijelaskan dalam vahyu Purana I.201 :
Itihasa Puranabhyam, Vedam samupabrmhayet,
Bibhetttyalpasrutad vedo, maMayam praharisyati
Artinya :
Hendaknya Veda dijelaskan melalui Itihasa dan Purana, Veda merasa takut kalau seorang yang bodoh membacanya, Veda berpikir bahwa dia (orang yang bodoh) itu akan memukulnya (Titib, 2004 : 9).
Dalam hal ini Itihasa merupakan sumber ajaran Hindu yang di tuangkan dalam suatu cerita kepahlawanan. Kitab Itihasa dibagi menjadi dua ekspos pesar yaitu epos Ramayana dan Mahabharata. kedua kitab ini menjelaskan ajaran-ajaran kebenaran. Itihasa adalah suatu cerita yang benar-benar terjadi dalam hal ini Itihasa disebarkan dari mulut ke mulut sehingga ajaran ini di katakana sebagai wira certita (cerita kepahlawanan). Cerita kepahlawanan ini didasarkan pada latar sejarah para raja, Namun nilai-nilainya tetap diambil dari Veda. Hal tersebut dipertegas dalam Mahabharata pada Svargarohana Parva (5.57) yaitu Parva ke 18.
Itihàsmimaý puóyaý mahàrtaý Vedasamitam
Vyàsoktaý sruyate yena kåtvà bràhmaóamagrataá
Artinya :
Cerita ini adalah peristiwa sejarah, dan mengandung makna yang dalam, dan mengandung ajaran yang ada pada cerita ini sama seperti ajaran suci Veda. Karya Maharsi Wyasa hendaknya didengar terlebih bagi seorang Brahmana.
Perkemabangan Itihasa ini telah terjadi begitu pesat, idealnya ajaran etika, moral, agama, serta estetika akan mudah dipahami oleh umat manusia secara menyeluruh. Selain ajaran-ajaran tersebut rasa juga merupakan suatu hal yang sangat luas dicerminkan dalam perjalanan cerita kepahlawanan ini. Dalam Itihasa, nilai rasa bila di kaji secara mendalam dalam Itihasa, akan akan ditemukan bahwa dalam setip isi dalam Itihasa ini memiliki nilai rasa yang begitu mendalam. Berbagai rasa baik yang baik yang berhubungan dengan estetika maupun rasa yang berhubungan dengan emosional manusia dicertikan dalam epos Mahabharata dan Ramayana.
Rasa yang dalam bahasa sanskerta berasal dari kata Ras yang artinya merang, menangis, berteriak, beragama dan berkumandang (Astra dalam Sukayasa, 2007 : 3) semua keadaan rasa ini terjadi dalam perjalanan cerita kepahlawanan dalam Itihasa. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji teori rasa yang terdapat dalam Itihasa.
PEMBAHASAN
1.1 Kedudukan Kitab Itihasa Dalam Agama Hindu
Kitab Itihasa dalam agama Hindu memiliki kedudukan yang penting, karena Itihasa merupakan bagian dari kitab smerti. Itihasa berasal dari kata iti yang artinya begini, Ha artinya tentu, dan asa artinya sudah terjadi. Jadi kata Itihasa artinya sudah terjadi begitu. Namun dalam perkembangan yang terjadi sampai saat ini khususnya di India kata Itihasa sering dihubungkan sebagai Sejarah. Sehingga Itihasa adalah cerita berdasarkan latar sejarah yang memasukkan nilai-nilai ajaran Veda didalamnya.
Itihasa dibagi menjadi dua epos besar yaitu kitab Ramayana dan Mahabharata. Ramayana merupakan karya dari Rsi Walmiki yang terdiri dari 7 kanda yaitu Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aryanyaka Kanda, Kiskindha Kanda, Sundara Kanda, Yuddha Kanda, Utara Kanda dan terdiri 24.000 sloka. Dalam Ramayana diceritakan tentang kisah cinta Rama dan Sitha serta perjalanan Rama kehutan sampai terbunuhnya raja raksasa Rahwana. Selanjutnya adalah Mahabharata yang di tulis oleh Rsi Wyasa yang mengklompokan kitab ini ke dalam 18 parwa yaitu : Adi Parwa, Sabha Parwa, Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Drona Parwa, Karna Parwa, Salya Parwa, Sauptika Parwa, Stri Parwa, Santi Parwa, Anusana Parwa, Aswameda Parwa, Asramawasika Parwa, Mosalaparwa, Mahaprastanika Parwa, Swargarohana Parwa. Dalam Mahabharata karya Maha Rsi Wyasa ini terdapat tiga tahap pengemabangan dalam penyusunan jumlah slokanya terdapat 100.000 sloka.
Kitab Itihasa yang merupakan bagian dari smerti memiliki kedudukan yang penting dalam agama Hindu, kitab Itihasa ini merupakan realisasi dari kitab-kitab Veda dan dituangkan dalam bentuk cerita kepahlawanan. Ajaran Hindu dalam Itihasa di tuangkan berdasarkanan realistas dari sebuah kisah kepahlawanan.
1.2 Teori Rasa
1.2.1 Pengertian Rasa
Teori rasa dikemukakan oleh Gupteshwar Prasad melalui bukunya yang berjudul I.A Richard and Indian Theory of Rasa yang diterbitkan oleh Author di New Delhi India pada tahun 2007.
Kata rasa terdiri dari dua kata yaitu, kata ra dan sa. Ra artinya memberi dan sa berarti gerakan. Rasa memiliki beberapa arti dalam kamus Panini yang semuanya tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya. V.B Apte menyebutkan beberapa arti dari kata rasa yaitu, mengalir, membuat basah, merendam atau dalam cairan, menikmati secukupnya, obat, keanggunan, kecantikanan. Sungai diibaratkan sebagai aliran rasa sehingga disebut rasatula (Richard,2007 : 2 (terjemahan)).
Istilah rasa juga diajukan oleh Mpu Kanwa memiliki kaitan erat denga rasa yang dikemukakan oleh Muni Bratha dalam bukunya Natyasastra yang konon ditulis pada abad ke 5 atau ke 6 Masehi (Hartoko dalam Wayan Suka, 2007 : 3). Kata rasa berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari urat kata ras yang artinya merang, menangis, begema dan berkumandang. Dalam bahasa jawa kuno, kata rasa memiliki banyak arti yaitu, air (getah) tumbuh-tumbuhan, air (sari) buah rasa, perasaan, pendapat, maksud, intisari. Isi (esensial), substansi, makna, pokok isi, arti, bagaimana seterusnya ada, diposisi atau kondisi nyata, demikian, seolah-olah, seakan-akan, dalam bentuk (tentang jenis), puisi atau karya tulis yang khas, dan air raksa (Zoetmolder dalam Wayan Suka, 2007 :4).
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, kata rasa berarti apa yang dialami oleh lidah atau badan (ketika kena sesuatu), sifat suatu benda yang sebagiannya mengadakan rasa, apa yang dialami oleh hati atau batin (ketika Panca indria menangkap sesuatu keadaan hati atau batin terhadap sesuatu), pertimbangan fikiran hati mengenai baik dan buruk, benar salah dan sebagainya, kira-kira, rupa-rupanya, barang kali (Poerwadarminta dalam Wayan Suka, 2007 : 4).
Kata rasa memiliki arti yang berbeda-beda, dari berbagai macam kata rasa yang terdapat dia atas, dapat disimpulkan bahwa rasa adalah sebuah wujud kejadian yang di alami oleh badan jasmani dan badan rohani.
1.2.2 Konsep Utama ‘Rasa’
Bhava adalah konsep utama yang melahirkan rasa, Bhava adalah emosi atau perasaan, dalam hal ini bhava dipahami sebagai sebab bangkitnya rasa. Tiada rasa tanpa bhava dan bukan sebaliknya. Bhava di bedakan menjadi tiga yaitu :
Ø Wibhava yakni keadaan atau situasi dan objek yang membangkitkan emosi. Keadaan atau situasi yang menjadi latar bangkitnya emosi disebut Uddipanavibhava sedangkat objek yang membangkitkan emosi disebut alambhanavibhava.
Ø Sthayibhava adalah emosi dasar yang dominan yang potensial ada laten pada diri manusia;
Ø Vyabhicaribhava disebut juga sancaribhava, yakni emosi atau keadaan mental yang bersifat sementara yang timbul dalam proses bangkitnya rasa.
Apabila bhava dipandang sebagai sebab, maka abhinaya dapat dipandang sebagai akibat, yakni ekspresi fisik atau fenomena rasa yang segera tampak setelah perkembangan rasa batin. Abhinaya dibedakan atas dua bagian yaitu : 1) anubhava yakni ekspresi rasa yang dikehendaki hadir; sebaliknya, 2) esattvikabhava (psikosomatik); identik apa yang dimaksud demam panggung, yakkni emosi yang terjadi secara spontan dan berefek fisik, antara lain dapat berupa kebisuan, keringatan, kengerian, perubahan suara, gemetar, pucat, air mata, dan pingsan. Emosi ini tidak dikehendaki hadir dalam pentas seni (Sukayasa, 2007 : 6).
1.2.3 Bhava dan Rasa dalam Panca Maaya Kosa
Untuk memahami posisi ontologis bhava dan rasa, maka pendapat Wiryamartana (1990 : 356) yang menyatakan bahwa dalam rasa terjadi sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik yang menarik untuk dicermati. Emosi disublimasi menjadi rasa yang dapat diandaikan dengan proses menggosok batu mulia menjadi permata indah. Artinya, disitu terjadi proses pembentukan dan penghalusan secara estetik, sehingga keadaannya yang semula kasar, bentuknya tidak beraturan, dan keruh menjadi berbentuk berlian halus bersinar indah dan murni. Pembentukan dan penghalusan secara estetik itu terjadi dalam diri dang seniman. Batu mulia yang telah menjadi permata itulah yang disajikan kepada penikmatnya sebagai sebuah karya seni. Lalu dengan menikmati anubhava “ ekspresi estetiknya” penikmat menikmati “rasa”nya. Jadi itu menganalogkan ada tiga fakta yang harus diperhatikan : pengarang, karya seni dan masyarakat yang menikmati karya itu.
Emosi yang bangkit dalam diri sang seniman itu diproses secara yoga (dalam rangka sastra disebut yoga sastra). Melalui tahapan pencerapan – pemusatan-renungan-kontempalasi estetik, lalu pada puncaknya sang seniman mengalami rasa di relung terdalam dalam dirinya. Pada titik terdalam itu, pengalaman estetik identik dengan pengalaman relegius. Identik manakala perasaan manusia terbenam menyatu dalam Brahman, realitas tertinggi itu. Menurut nayaka, persepsi puitik adalah semacam pewahyuan. Rasa yang diwahyukan itu bukanlah suatu persepsi dengan akal budi, elainkan suatu pengalaman yang penuh kebahagiaan sehingga kesadaran pribadipun lenyap (Haroko dalam Sukayasa 2007 : 8). Akan tetapi secara psikologi direlung-relung proses emosi menjadi rasa itu terjadi ? inilah persoalan yang nampaknya perlu dipahami melalui suatu pemahaman konsep Panca Maya Kosa (lima lapisan diri manusia).
Ø AnaMaya Kosa
Adalah Kosa ‘lapis’ yang berupa badan kasar manusia yakni badan yang dibangun dari sari makanan dan minuman. Dalam badan ini ada sepuluh alat penting yang digunakan oleh indriya untuk melakukan aktivitas. Sepuluh alat indriya itu dikelompokan menjadi Panca Budhindriya (lima indriya yang ada pada lima alat persepsi) dan Panca Kamendriya (lima indriya yang ada pada alat pekerja).
Ø PranaMaya Kosa
Adalah lapisan badan manusia yang lebih halus yang berupa prarna, yakni nafas atau daya hidup yang memanifistasikan keberadaannnya dalam rupa udara yang keluar masuk pada dir manusia terutama melalui hidung.
Ø MnoMaya Kosa
Adalah lapisan manah “pikiran, emosi’ manah disebut juga dengan rajandriya ada dua fungsi yaitu 1) pikiran yang berfungsi untuk mencatat fakta-fakta yang dapat dicandra oleh dasendriya (sepuluh alat pengindraan) disebut manah, 2) pikiran dalam fungsi mengakui disebut ahamkara (ego, keakuan) manah dpat dikatakan sebagai pikiran yang klebih bersifat objektif karena hanya menerima fakta apa adanya dari sepuluh indriya dan ahamkara adalah fikiran yang bersifat sujektif karena merespon fakta yang diterima oleh manah dari sepuluh alat indriya. Bagi pandangan seniman, fakta tertentu yang bersifat artistik merangsang bangkitnya emosi diantara psikologis ini kemudian dibangkitkan secara estetik. Artinya bahan yang dicerap yang masih bersifat kasar itu kemudian disublimasi menjadi rasa melalui olah cipta-rasa. Hasil cipta rasa oleh bharatha disebut rasa kemudian diekspresikan dalam wijud karsa, dan itu terjadi di dua lapis kembar yaitu Wijnana dan Ananda Maya Kosa.
Ø Wijnana dan AnandaMaya Kosa
Wijnana Kosa adalah lapisan dalam diri manusia yang lebih halus lagi, yakni berupa pikiran yang lebih halus yang disebut buddhi. Sementara ahamkara bersifat rajas ‘egois’maka buddhi bersifat satvik ‘sadar dan arif’ Kosa ini merupakan kompleks pengetahuan, kompleks intelegensi, yakni daya buddhi yang memungkinkan manusia memahami dan menerangkan keberadaan fakta yang diserap indriya.
AnandaMaya Kosa adalah lapisan dari manusia yang berupa kompleks daya rasa atau dapat dikatakan sebagai lapisan [ikiran yang memungkinkan manusia mengalami pengalaman estetik, jika buddhi menyebabkan manusia memperoleh pengalaman yang lebih bersifat empirik-rasional, maka ananda inilah yang menyebabkan manusia memperoleh penglalaman estetik. Secara ontologism, rasa pada lapisan ananda inilah yang dimaksudkan bahwa rasa merupakan jiwa dari karya seni oleh bharata (Sukayasa, 2007 : 7-11).
Demikianlah rasa yang diejelaskan dalam Panca Maya Kosa. Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya rasa berhubungan dengan semua unsur dalam tubuh manusia, sehingga dar tiga lapisan badan manusia, rasa meliputi semua keadaan yang dialami oleh manusa. Panca Maya Kosa menjelaskan tentang rasa yang terdapat dalam badan manusia yang di rincikan dalam tiga lapisan badan manusia yang dapat di katakana bahwa lapisan badan bagian luar merupakan perwujudan rasa yang dialami oleh badan jasmani dan lapisan badan halus dan yang paling halus yaitu antakarna sarira adalah ekspresi rasa dalam rohani.
1.3 Rasa dalam Itihasa
Berdasarkan teori rasa yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka kita dapat memahami berbagai macam pengertian rasa, dalam agama Hindu rasa sangat berhubungan erat dengan Bhava. dikatakan bahwa bhava merupakan cikal bakal kelahiran rasa. Dengan begitu luasnya pemahaman tentang rasa, kita dapat mengkaji rasa berdasarkan kegunaan dan pengaruhnya dalam setiap keadaaan. Seperti halnya rasa dapat di kaji dalam kitab Itihasa.
Itihasa merupakan sebuah kejadian yang benar-benar terjadi, Itihasa merupakan sebuah cerita kepahlawanan, dalam perjalanannya, Itihasa di bagi ke dalam dua bagian besar yaitu Ramayana dan Mahabharata. Dengan demikian penulis akan mencoba mengkaji rasa yang terdapat dalam dua epos besar cerita kepahlawanan ini.
1.3.1 Rasa dalam Ramayana
Ramayana merupakan bagian dari Itihasa, cerita kepahlawanan ini disusun oleh Rsi Walmiki, alur cerita ini di bagi dalam Tujuh Kanda yaitu Bala Kanda, Ayodya kanda, Aranya Kanda, Kiskendha Kanda, Sundara Kanda, Yuddha Kanda, dan Uttara Kanda. Secara garis besar cerita ini menceritakan perjalanan Sri Rama sebagai awatara yang bertujuan untuk membunuh Raja Raksasa Rahwana dan juga menceritakan perjalanan cinta Sri Rama dan Dewi Sinta. Dalam cerita ini terdapat banyak nilai-nilai moral maupun etika yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan hidup, karena seperti yang kita ketahui bahwa ajaran dharma yang terdapat dalam cerita ini bersipat universal dan sangat efektif untuk di pedomi di semua sisi kehidupan manusia.
Cerita kepahlawanan Ramayana memberikan kita pelajaran tentang bagaimana nilai-nilai dharma dan kewajiban itu dikedepankan. Perjalanan Sri Rama dalam cerita ini bila kita kaji dapat membangkitkan rasa dalam diri orang yang menyaksikan cerita kepahlawanan ini. Setiap alur cerita yang terjadi dalam cerita Ramayana ini bila kita simak seakan-akan membawa kita dalam haluan cerita yang penuh dengan nilai etika, estetika maupun nilai moral.
Rasa dalam Ramayana dapat di lihat dari setiap adegan yang diperankan oleh para aktor dalam cerita ini. Karena begitu kaya akan nilai rasa yang terdapat dalam cerita ini penulis akan mengutip sebagian kecil dari cerita ini. Bila di pahami bahwa rasa merupakan sebuah perwujudan dari estetika, maka dalam cerita Ramayana ini dapat di lihat dari bagaimana keindahan itu diwujudkan dalam cerita ini, karena rasa memiliki banyak pengertian termasuk keindahan dan kecantikan adalah makna dari rasa. Makna dari keindahan itu dapat kita lihat pada kanda pertama dalam cerita ini yaitu Bala Kanda, bagaimana empat bersaudara ini menjalankan ulah tapa yang keras di Asrama Guru Wisesa untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang ksatriya, namun walaupun demikian, kehidupan yang keras tidaklah menjadikan manusia itu semPurana, maka seni dan keindahan hendaknya dimiliki oleh setiap manusia, sehingga dalam cerita ini Harulati istri dari guru wisesa memberikan pelajaran seni kepada empat bersaudara yaitu Rama, Laksmana, Bharata dan Sadrughna diberikan pelajaran seni dalam kitab Sama Veda. ini adalah suatu wujud rasa yang di tuangkan dalam suatu seni.
Selain rasa dalam seni, dalam cerita ini berbagai macam keadaan rasa dapat kita temukan, seperti halnya kecintaan sang Raja ayodya yaitu Dasaratha terhadap putra-putranya terutama Rama selalu membuat sang raja hanyut dalam kerinduan akan keindahan dan kearipan anaknya itu. Bahkan karena rasa yang begitu rindu terhadapat putranya Sri Rama, ketika Sri Rama di asingkan di hutan atas permintaan ibunya kayikey, sang rajapun hanyut dalam rasa sedih yang begitu mendalam atas kejadian itu sehingga menimbulkan kematian bagi dirinya. Itulah rasa bila menyelimuti manusia maka keadaan rohani dan jasmani akan di kuasainya.
Selain itu juga dalam kanda ke tiga yaitu Arnyakanda, walapun banyak hal yang berkaitan dengan rasa, selain bagimana rasa pengabdian yang di jalankan oleh Laksmana terhadap Saudaranya Sri Rama selama pengasingan di hutan, dapat kita lihat satu satu adegan yang menyentuh nilai rasa, yaitu ketika bharatha saudara Sri Rama yang lainya ketika mencari kakaknya kehutan untuk menyerahkan mahkota kerajaan dan untuk mengajak Sri Rama pulang, rasa cintanya terhadap Sri Rama dapat menghanyutkan perasaan orang yang menyaksikan adegan itu. Sehingga dalam satu adegan guru Wisesa menyatakan bahwa ‘rasa cinta jika telah mencapai puncaknya maka sang penciptapun dapat merubah arah takdir yang telah di tetapkan’ inilah kekuatan rasa yang dapat kita lihat dalam adegan ini (Subramaniam, 2003).
Selain hal tersebut ada pula adegan yang begitu membangkitkan rasa, bagaimana seorang pertapa wanita yang bernama Ibu Sabhari yang begitu yakinnya akan kedatangan rama dan dengan rasa bhakti setiap hari dia selalu menantikan rama untuk menemuinya, dengan rasa bhakti yang suci dia menunggu kehadiran Sri Rama akhirnya Rasa Bhakti mewujudkan cita–cita hatinya, Sri Rama datang menemuinya dan ibu sabhari menyajikan buah-buahan yang mana sesungguhnya buah ini rasanya pahit, namun dengan rasa cinta yang dirasakan oleh Sri Rama Terhadap bhakti suci ibu Sabhari, Sri Rama memakan buah itu dengan begitu lahapnya karena rasa buah yang pahit dapat menjadi begitu enak dalam bhakti suci yang di tunjukan oleh pengabdinya itu.
Berikutnya ada juga adegan yang penuh dengan rasa, yaitu pada yudha kanda, selain bagaimana rasa bhakti yang di tujukan oleh para pengabdi Sri Rama seperti para panglima maupun raja kera dari kiskenda, ada sebuah adegan di mana adik dari raja rahwana yaitu wibhusana mengalami suatu kemalangan dia di usir dari kerajaannya oleh raja rahwana karena selisih pendapat sehingga ia menemui Sri Rama untuk mengabdi Kepadanya. Dalam kelangsungan perang yang terjadi antara pasukan Rahwana dan Pasukan Kera, Wibhisana di selimuti berbagai macam rasa, ketika berakhirnya perang, bagaimana gejolak batin dalam diriniya, karena terjadi pertentangan antara dharma dan kewajiban, wibhisana diselimuti rasa bersalah karena dia berfikir bahwa dialah yang menyebabkan Kakaknya Rahwana kalah dalam peperangan.
Demikianlah sebagaian keceil implementasi rasa dalam cerita Ramayana, sesungguhnya banyak aplikasi rasa yang terdapat dalam cerita Ramayana ini, bila dihubungkan dalam berbagai macam rasa yang di jelaskan dalam teori rasa.
1.3.2 Rasa dalam Mahabharata
Mahabharata adalah bagian dari Itihasa, cerita ini disusun oleh Rsi Wyasa. Mahabharata juga merupakan sebuah cerita kepahlawanan, dimana dalam cerita ini diceritak tentang adanya perang antara pangeran dari kurawa dan pandawa. Ini juga merupakan sebuah kejadian perang saudara. Dalam cerita ini Sri Krisna yang merupakan awatara Wisnu turun kedunia untuk menegakan dharma. Mahabharata dibagi menjadi delapan belas bagian yang disebut dengan asta dasa parwa. Bagian tersebut adalah Adi Parwa, Sabha Parwa, Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Drona Parwa, Karna Parwa, Salya Parwa, Sauptika Parwa, Stri Parwa, Anusasana Parwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mosala Parwa, Mahaprastanikaparwa, Swargarohanaparwa.
Bila kita melihat secara menyeluruh dalam cerita ini dan dihubungkan dengan teori rasa, maka setiap adegan yang terdapat dalam cerita ini mengandung rasa. karena begitu luas alur cerita ini, penulis mencoba menemukan rasa dalam salah satu parwa yang terdapat dalam delapan belas parwa dalam Mahabharata.
Dalam suatu adegan dimana pandawa kalah main dadu di balerung astina pura, dimana para kurawa mempermalukan pandawa dan menghina para keturunan bharata dengan mencoba menelanjangi dropadi. Ketika itu, rasa marah, kesal, jengkel dan sebagainya menyelimuti hati para pandawa. Sehingga di akhir adegan dalam sabha parwa itu, Bima salah satu dari Pandawa mengangkat sumpah akan membunuh Dhuryodhana dan Dursasana dalam sebuah perang besar. Ketakutan raja Drstarasta akan sumpah yang di ucapakan oleh bhima menyelimuti hatinya, sehingga di setiap kesempatan Raja selalu berbuat yang tidak adil untuk menyingkirkan Pandawa tanpa melalui peperangan.
Demikian juga dalam adegan yang paling menarik yaitu pada bagian Bhisma Parwa, dimana perang bratayudha akan segera dimulai, Arjuna yang merupakan pemanah sakti mengalami kebingungan dan pergulatan rasa terjadi pada dirinya, sehingga dia menyatakanan tidak ingin berperang karena ada pertentangan batin. Pertentangan batin ini merupakan perwujudan dari rasa yang mengakibatkan tubuh gemetar, badan terasa lemas seperti keadaan anubhawa. Demikianlah perwujudan rasa yang dialami oleh arjuna dalam cerita kepahlawanan Mahabharata. selain itu juga pada bagian karna parwa dimana diceritakan tentang terbunuhnya karna yang dimana karna yang sudah mengetahui bahwa musuh terbesar yang ada dalam hidupnya yaitu arjuna adalah adiknya sendiri dan dia mengabaikan rasa sedihnya demi menjalankan kewajiban ksatryanya, dia mengalami pergolakan batin. Namun ketika dia sebelum bertempur melawan arjuna, dia telah bertempur dan mengalahkan pahlwan pandawa yang lainya, namun dia tidak membunuh karena dalam hatinya dia menyimpan rasa yang begitu menyayangi adik-adiknya yang tiada lain adalah Panca pandawa itu sendiri. Begitu juga bagaimana rasa sedih yang dialami oleh para ibu dari keturunan bharata yang menyaksikan putra-putranya bertikai satu dengan yang laiinya.
Selanjutnya dalam adegan lain bagian aswamedhaparwa, bagaimana Yudistira mengalami penyesalan karena telah berperang melawan saudara, guru, paman dan lainya dalam perang brathayudha tersebut. Sang guru wyasa dan sri Krsna memberikan wejangan kepada Yudhistira dan agar tetap melaksanakan upacara aswamedha dengan penuh bhakti.
Demikian sebagian kecil perwujudan rasa dalam cerita Mahabharata, Gejolak batin yang diperankan oleh setiap aktor dalam cerita ini merupakan perwujudan dari berbagai macam rasa yang dialaminya masing-masing.
3.1 Simpulan
Kitab Itihasa yaitu kitab yang menceritakan tentang sejarah kepahlawanan dalam dua epos besar yaitu Ramayana dan Mahabharata merupakan sebuah ajaran suci Veda bagian dari Veda smerti. Dimana dalam cerita kepahlawanan ini mengandung segala unsur rasa dalam setiap adegannya.
Berdasarkan teori rasa, ‘rasa’ memiliki bnayak pengertian yang pada intinya rasa merupakan sebuah perwujudna dari keadaan yang di alami badan jasmanai maupun rohani. Dimana dalam kenyataannya bhava yang merupakan emosi atau perasaan adalah cikal bakal tumbuhnya rasa dalam diri manusia.
Rasa dapat dialami oleh semua orang dan dalam suatu adegan apapun, seperti perwujudan rasa yang terdapat dalam kitab Itihasa yang terjadi dalam dua epos besar cerita kepahlawanan yaitu Ramayana dan Mahabharata.
DAFTAR PUSTAKA
Prasad, Gupteshwar. 2007. I.A Richard And Indian Theory Of Rasa. Author : New Delhi.
Rai Sudharta, Tjokordo. 2012. Manawadharmasastra. Widya Dharma : Denpasar
Subramaniam, Kumala. 2003. Mahabharata. Paramita : Surabaya
---------------------------.2003. Ramayana. Paramita : Surabaya
Suka Yasa, I Wayan. 2007. Teori Rasa, Memahami Taksu, Ekspresi dan Metodenya. Widya Dharma : Denpasar
Titib, Made. 2004. Purana Sumber Ajaran Hindu. Paramita : Surabaya
Komentar
Posting Komentar