korelasi teori Pierre Bordieu dengan isi sloka Saarasamuccaya 267
sarasamuscaya credit bukalapak.com |
A. Itihasa merupakan sebuah epos besar dalam mengkomunikasikan ajaran agama hindu memlalui sebuah kejadian di masa lalu. Itihasa memiliki mengandung berbagai macam ajaran agama hindu. Itihasa terkenal dengan dua epos besar yaitu mahabharatha dan Ramayana di mana pada kedua cerita ini memiliki nilai luhur dalam sejarah umat manusia di dunia. Itihasa merupakan sebuah cerita yang tidak dapat di ragukan kebenarannya dan memang sudah seperti itu adanya. Begitu juga halnya dengan Purana, Purana merupakan cerita sejarah di masa lalu (cerita kuno). kata purana terdiri dari kata” Pura” yang artinya zaman kuno dan “ana” berarti mengatakan. Jadi purana adalah sejarah kuno. dalam definisi lain purana juga merupakan cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa, raja-raja, dan Rsi-rsi. Yang dalam ajaran purana terdapat ajaran-ajaran agama. Maha Rsi Kautilya dalam kitabnya Arthasastra (1.5.14) yang membahas tentang itihasa menyatakan bahwa Purana dan Itivrtta dari segi isinya merupakan bagian dari itihasa. Itivrtta sendiri berarti Pristiwa Bersejarah. Purana merupakan penggalan kata dari Puraanam Aakhyaanam yang merupakan cerita kuno (Titib,2004:14 & 17).
Dari makna di atas kita dapat melihat bahwa Itihasa dan purana merupakan suatu metode untuk suatu pendahuluan dalam mempelajari weda itu sendiri. Karena dalam itihasa dan purana mengandung banyak ajaran weda maka dari itu, dalam mengkomunikasikan ajaran weda kepada umat manusia di hendaknya dikomunikasikan melalui Itihasa dan Purana.
Selain mempelajari weda melalui ituhasa dan purana, kita dapat mempelajari weda itu dari cerita-serita rakyat yang banyak mengandung nilai-nilai luhur. Ajaran agama juga dapat di tuangkan dalam cerita rakyat, dan cerita rakyat adalah metode yang juga baik di kembaangkan dalam usaha untuk mengetahui ajaran agama itu sendiri.
dalam ajaran agama hindu, kita tidak dapat memungkiri bahwa Harta merupakan suatu keharusan yang dimilki oleh setiap manusia, namun yang jadi permasalahan adalah bagaimana harta itu di peroleh. Bahkan ajaran Catur Purusha artha juga menekankan bahwa artha adalah tujuan hidup, dimana perolehan harta hendaknya berdasarkan dharma. Pembicaraan tentang Hartha dalam agama hindu dapat menjadi suatu hal yang perlu untuk mendaptakan analisa lebih dalam.
Harta dalam arti yang luas kita dapat mengatakan itu suatu kekayaan yang dimiliki manusia yang berhubungan dengan material. Di zaman ini bahkan orang lebih mengutamakan harta, dimana harta di nilai sebagai suatu keharusan yang di peroleh dtanpa memikirkan bagaimanapun caranya. Kita melihat keadaan sekarang ini, banyak terjadi pencurian, perampokan, pembegalan, kasus korupsi dan lain sebagainya yang mana tujuannya hanya mendapatkan harta semata, namun dengan mengesampingkan Dharma dalam usaha memperolehnya maka harta yang dimiliki tidak akan membawa kebahagiaan.
Dalam Sloka Saarasamuccaya sloka 267 menyakana bahwa :
Jatasya hi kule mukhye paravittesu grdhyatah
Lobhasca prajnamahanti prajna hanti hataa sriyam
Yadiyapin kulaja ikang wwang, yan engin ring pradrbyaharana, hilang kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangaken srinya, halep nya salwirning wibhawanya.
Artinya :
Biarpun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilang kearifannya karena kelobaanya, apabila telah hilang kearifannya itu, itulah yang menghilangkan kemuliaannya, keindahan dan seluruh kemegahannya.
Dalam sloka di atas, jelas di uraikan bahwa memperoleh harta dengan mengesampingkan Dharma sebagai landasannya maka akan mengahancurkan kemuiaan orang tersebut.
Dalam itihasa epos Mahabhartha sudah jelas diberikan sebuah gambaran tentang harta yang diperoleh dengan mengesampingkan dharma. Dimana kita sudah mengetahui alur cerita dalam Mahabhartha dimana dalam cerita ini menceritakan tentang pertikaian antara Pandawa dan Korawa yang memunculkuan perang besar yang dinamakan bharatha Yudha.
Terjadi pertiakian antara saudara ini mulai dari di angkatnya raja Drstarastha sebagai raja hastina pura untuk menggantikan adiknya yaitu pandu yang meninggal karena kutukan Rsi Kindu. Raja drstarasta sebagai raja yang mewakili saudaranya yaitu pandu memiliki 100 putra yang dikenal dengan Korawa dan Raja Pandu memiliki Lima Putra yang dikenal dengan Panca Pandawa. Pertikaian mulai nampak dimana kedatangan Para pandawa ke hastina pura setelah meninggalnya Raja Pandu di Hutan menimbulkan kegelisahan bagi raja Drstarastha karena takut akan mahkota raja yang dikenakannya akan di alihkan kepada Yudhistira sebagai putra tertua dari pandawa. Dhuryodana yang merupakan putra dari raja Drstarastha yang di bantu dengan raja gandara sakuni selalu mencari cara untuk menyingkirkan Pandawa agar hak waris atas mahkota raja jatuh ke tangan dhuryodhana.
Singkat cerita Gejolak hebat terjadi mengenai pemilihan putra mahkota dimana Yudhistira dengan segala kearipan budinya dan terkenal dengan raja Dharma menjadi putra mahkota menggantikan raja Drstarasta. Dengan keputusan ini dhuryidana sangat kecewa dan menyusun rencana jahat untuk membunuh para pandawa. Dhuryodhana mencoba meembakar pandawa di dalam rumah kadus yang di siapkan oleh Korawa untuk Pandawa. Namun usahanya gagal dan pandawa selamat dari keadaan itu namun pergi kehutan untuk memberikan kesan bahwa pandawa sudah tiada. Keadaan itu di manfaatkan oleh raja Drastarastha untuk menjadikan Dhuryodhana sebagai putra mahkota. Namun beberapa saat pandawa datang kembali ke kerajaan hastina pura dan situasi semakin kacau karena raja memiliki duaahli waris sehingga munculah ide untuk membagi negara menjadi dua yaitu setengah untuk pandawa dan setengah lagi untuk korawa. Raja yang buta akan dharma selalu memberikan kesengsaraan kepada para pandawa. Dia memberikan pandawa bagian kerajaan di tanah gersang kandawa prastha, dengan ketekunan karma, bakti, janana,dan raja yoganya, merkea merubah kandawa prastha menjadi indra prastha yang merupakan kerajaan yang megah dan besar yang mana rakyatnya hidup makmur dalam kerajaan itu. Dengan bantuan Sri Krsna pandawa berhasil menjalankan karma bumi.
Dengan berdirinya kerajaan besar itu maka dilakukan upacara rajasuya untuk menobatkan yudhistira sebagai raja di raja, dan dhuryodana dengan kelompoknya yaitu sakuni mengahadiri upacara tersebut, dia kagum melihat kemegahan kerajaan itu. Dalam hatinya ia ingin memiliki kerajaan tersebut, maka sakuni raja gandara menyusun rencana jahat untuk mengambil alih kerajaan itu dengan cara yang tidak beradab yaitu dengan pertarungan judi yang dilakukan dengan curang. Sakuni mengalahkan raja yudhistira dalam permainan judi tersbut dan menjadikan raja yudhistira budak dan mengkoyak-koyak dharma dengan melecehkan wanita yaitu mencoba menelanjangi dropadi. Dengan kekalahannya ini, raja dengan politiknya mengembalikan kembali kekalahan raja yudhistira, namun dhuryodana tidak bahagia, dia kembali memgadakan permainan judi untuk melawan raja Yudhistira dan kekalahan yudhistira kembali terjadi sehingga pandawa harus di buang ke hutan selama 13 tahun karena itu merupakan persyaratan yang di ajukan dhoryodhana.
Berakhirnya masa pembuangan pandawa selama 13 tahun, maka mereka kembali, namun dhoryodhana tidak mau mengembalikan indraprastha karena dia terpesona akan kemegahan istana itu. Dari itulah muncul perang karena dhuryodhana ingin menguasai kerajaan dengan paksa.
Dari kutipan cerita epos besar mahabharatha ini mencerminkan bahwa bagaimana dengan kelobaan orang dapat hilang kemuliaannya.
Kita mengenal bahwa raja Drstarastha merupakan orang mulia dari keturunan bharatha, begitu juga Dhoryodhana adalah ksatria pembrani, sakuni juga merupakan raja mulia dari kerajaan gandara. Semuanya tokoh besar yang mulia itu menyimpang dari jalan dharma dalam memperoleh hartha maka, kemulian mereka hilang karena kelobaannya. Kemauan memiliki hak orang lain merupakan perbuatan yang salah, ini merupakan dasar dari ajaran etika. Dimana kehancuran akan mendatangkan mereka yang mentang dan menyimpang dari jalan dharma.
Dalam brahmapurana 221.16 di sebutkan bahwa :
“Dharmo Dharmanu Badhartho
Dharmo Natamartha Prdakah”
Artinya :
Dharma bertalian erat dengan harta dan dharma tidak menentang hartha itu sendiri tetapi mengendalikannya.
Dalam kutipan sloka di atas dapat di lihat bahwa bagaimana proses memperoleh harta hendaknya selalu berlandaskan atas dharma, penggunaan harta akan lebih manfaaf jika di dasarkan atas dharma, dharma tidak pernah menentang harta namun cara memprolehnyalah yang diberikan rambu-rambu dalam rel dharma agar tetap harta itu bertuah.
Dalam kitab purana tidak ada pembahasan khusus tentang harta , namun berhubungan dengan pernyataan dari kitab Sarascamusccaya seloka 267 kita dapat melihat dan menganalisi tentang isi dari sloka tersebut. Dalam ajaran agama hindu kita mengenal tiga dewa yang di populerkan dalam purana yaitu dewa brahma, wisnu dan siwa. Bahwa kita inni menceritakan tentang raja-raja, dewa-dewa serta rsi-rsi. Kita dapat melihat bahwa bagaimana hilangnya kemulian dewa karena berkeinginan memilikikepunyaan orang lain seperti di ceritakan dalam sebuah cerita ramayana. Di ceritakan seorang maha rsi yang sangat sakti yaitu Rsi gautama, memilki istri yang cantik bernama dewi ailiya. Kecantikan istri dari sang maha Rsi membuat Dewa Indra sangat tertarik ingin memilikinya, di suatu kesempatan dewa indra turun kedunia menyamar sebagai Rsi Gautama ketika Rsi Gautama yang asli sedang berbasuh di sungai, dewa indra memanfaatkan kesempatan itu untuk dapat berumbu dengan Dewi ailiya, dan niat dewa indrapun tercapai. Pulang dari berbasuh dari suangai Rsi Gautama melihat kejadian itu dan mengutuk istrinya dan juga mengutuk dewa indra karena keserakahannya.dan terjadilah kutukan itu yang membuat dewi ailiya menjadi batu.
Dalam cerita ini, kita melihat raja pra dewa yaitu dewwa indrapun di hilang kemuliaannya karena berkehendak memiliki kepunyaan orang lain. Kemuliannya tercoreng dalam sejarah kehidupan manusia.
Dari hal ini kita dapat melihat bahwa raja pra dewa yang begitu muliapun dapat kehilangan kemuliaan karena menuruti hawa nafsu dan merampas kepunyaan orang lain yang bukan menjadi miliknyya.
Selain dalam cerita purana, cerita rakyatpun banyak menguraikan tentang ajaran etika yang berhubungan dengan harta ini, misalnya sebauh cerita rakyat yang terkenal di negara yunani yaitu raja midas. Raja midas adalah raja yang besar yang berkuasa pada masa itu, raja sangatlah kaya karena memang hobi menumpuk kekayaan, rakyatnyapun menjadi korban keserakahan raja itu atas harta. Suatu ketika raja midas berkunjung ke asia kecil (mosko) dia menemukan sebuah kerajaan yang megah di pimpin oleh raja yang agung yang tidak lain adalah sekutunya sendiri. Raja midas tidak ingin melihat kerajaan yang kaya yang lebih kaya dari kerajaannya, dia memohon kepada dewa agar dia dapat merubah apapun yang disentuhnya agar menjadi emas. Dan karunia itu pun diberikan oleh para dewa.
Dengan bahagia atas karunia itu, raja midas mencoba menyentuh pohon di depan istananya, dan pohon itu pun berubah menjadi emas. Dan akhirnya semua di istanyanya disentuh olehnya dan semua menjadi emas. Suatu saat sang raja mida merasa lapar, dia akan segera menikmati hidangan yang ada di meja makan, ketika sang raja menyentuh makanan, makanan itupun berubah menjadi emas. Sang raja mulai gelisah atas kekuatannya itu. Ketika itu permaisuri raja datang menghadapnya, beserta dengan putranya, karena sedih raja mada memeluk permaisuri dan putranya. Istri dan putra raja pun juga berubah menjadi emas. Sang raja sangat sedih dan menyesal akan apa yang dilakukannya, hingga sang raja menjadi gila. Rakyatpun mencemoh akan apa yang terjadi kepada raja mada, akhirnya raja mada meninggal dalam kekayaannya.
Demikian adalah sebuah contoh cerita bagaimana seorang rajabesar penguasa Yunani yang dengan keserakahannya akan harta menimbulkan kesengsaraaan. Pada dasarnya segala sesuatu hendaknya dilakukan berdasarkan dharma.
Dalam agama hindu sudah di jelaskan bahwa harta hendaknya di fungsingkan berdasarkan tujuan yang baik. Dalam naskah suci agama hindu di sebutkan :
“Sadhana Rikasiddhaning Dharma
“Sadhana rikasiddhaniing kama
“sadhana ri kasidhaning harta
Yang mana kutipan naskah di atas menjelaskan kegunaan harta, dimana harta di gunakan untuk menjalankan dharma, harta digunakan untuk memenuhi keinginan dan harta digunakan untuk menambah harta itu sendiri. Demikianlah hendaknya harta itu digunakan.
B. Sarasamuccaya sloka 267 kaitannya dengan teori Pierre Bourdieu
1) Teori Pierre Bordieu
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap buku-bukunya. Gagasan itu terelaboasi dalam beberapa konsep utama, yaitu habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik dan modal budaya. Gagasan-gagasan pemikiran sosial yang “diwarnai pemberontakan” ini patut diperhitungkan karena upayanya menjembatani antara teori dan tindakan. Pada awalnya Bourdieu percaya bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi akhirnya ia mendobrak kebuntuan bebas nilai itu untuk terlibat dalam ranah politik. Menurutnya sosiologi harus mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi.
Fokus pemikiran Bordieu mengacu pada habitus, modal dan ranah serta praktek yang di tuangkan dalam sebuah konsep (habitus x modal ) + ranah = praktek.
Habitus, dalam pandangan bordieu adalah merupakan sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu Habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan bahasa, penulisan atau pemikiran. Seniman, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya karena mereka tidak lagi menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebebasan kereatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.
Ranah. Konesp habitus tidak dapat terpisahka dengan ranah dalam teori bordieu. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran: “arena juga merupakan arena perjuangan. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, pemikiran Bourdieu yang mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai, menjadi bermakna. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.
Dalam penjelasan pada bagian awal, telah disinggung bahwa habitus mendasari terbentuknya ranah, sementara dilain pihak ranah menjadi lokus bagi kinerja habitus. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1) Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.
Modal. Konsep “modal” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi Marxian dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Pemetaan itu tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi modal-modal tersebut. Dengan pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas-kelsa lain. Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitu, field dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik modal dihubungakan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.
Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku – yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal. Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah. Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu; kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atau habitus mereka.
2) Kaitannya Sarascamusccaya sloka 267 dengan teori Peirre Bourdieu
Jika bordue menganggap bahwa habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu Habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari). Maka ranah atau arena merupakan tempat untuk mengekspresikan segala sesuatu keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu. Namun dalam menguasai kelas sosial, maka modal mejadi sebuah ukurannya. Dalam ilmu ikonomi model di definisikan sebagai harta.
Dalam sloka sarascamuccaya sloka 267 yang berbicara tentang harta dan cara meperolehnya. Maka kita mengenal bahwa harta adalah sesuatu yang ada dalam dunia ini yang merupakan material. Dalam artian bahwa harta hanya terdapat di dunia ini dan dunia inilah disebut dengan arena dalam teori bourdieu. Arena merupakan tempat untuk mengkelolah harta itu. Maka dari itu arena dikatakan memilki hubungan yang erat dengan hebitus. Jika habitus dipandang sebagai suatu keterampilan dalam suatu tindakan praktis, maka tindakan itu di refleksikan di dalam arena. Dan untuk menguasai arena maka modal sangatlah penting.
Jika di korelasikan dalam ajaran agama hindu, maka habitus merupakan tindakan dan arena merupakan tempat (dunia) dan modal adalah harta. Maka untuk menguasai kelas sosial, di dunia ini, maka kita hendaknya memilki harta dan harta yang diperoleh hendaknnya melalui habitus atau tindakan yang berdasarkan kebenaran. Karena jika memperoleh modal dalam artian harta dengan merampas kepunyaan orang lain atau jalan yang tidak benar, maka kita tidak dapat hidup dengan bahagia pada dunia ini (arena). Dengan demikian, walaupun modal yang kita meliki tanpa memilki habitus yang muncul dalam diri yang dikekang dengan kebenaran, maka modal (harta) tidaklah menjadi bertuah.
Demikianlah penulis mengkaitkan teori pierre bordieu dalam makna sloka sarascamuccaya sloka 267.
DAFTAR PUSTAKA
Bantas, I Ketut dan Djelantik, Gde Ketu.1996.’Materi Pokok Sarasamuccaya” direktorat Jendral Bimas Hindu dan Budha
Kajeng, I Nyoman.1997.”Sarasamuccaya dengan teks bahasa sansekerta dan bahasa jawa kuna.”Paramita : Surabaya
Pudja, Gde.2005.’Bhagawad Gita (Pancama weda)’ Paramita : Surabaya
Subramaniam,Kamala.2003.’Mahabharata’ Paramita : Surabaya
.................................... 2003.Ramaayana” Paramita : Surabaya
Titib, Made.2004. ‘Purana sumber ajaran hindu komprehensip’ Paramita : Surabaya
http://teoripierrebordieu
Http://ceritarajayangrakusdiyunani
Komentar
Posting Komentar