TUTUR KUMARA TATTWA

lontar kumaratattwa
lontar kumaratattwa credit pendidikanagamahindu.wordpress.com

PENDAHULUAN
Sejak dahulu agama Hindu merupakan sumber inspirasi yang banyak mengilhami sejumlah teks tradisional yang dimiliki masyarakat di Bali. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, karya sastra dan agama tidak dapat dipisahkan.
Teks-teks yang dijiwai oleh agama Hindu yang diwarisi masyarakat Bali sebagian besar ditulis di atas daun lontar. Peninggalan ini merupakan dokumen penting yang memuat konsep-konsep tuntunan etika dan moral, acuan tata kehidupan sesuai dengan norma-norma ajaran agama Hindu. Teks-teks warisan budaya tersebut juga mengandung berbagai konsep pemikiran leluhur yang dipakai pedoman dan diteladani serta dipakai tuntunan berperilaku oleh masyarakat pada zamannya.
Tutur Kumara tattwa merupakan salah satu dari ribuan naskah yang diwarisi masyarakat Bali saat ini. Tutur Kumara tattwa mengandung nilai-nilai luhur. Tutur Kumaratattwa berisikan ajaran filosofis tentang mengapa manusia menderita dan bagaimana manusia melepaskan diri dari penderitaan itu. Teks-teks suci (termasuk Tutur Kumaratattwa) sangat berperan dalam kegiatan pencerahan perasaan bhakti dan sebagai penuntun konsentrasi pikiran menuju sebuah kebenaran. Hal ini disebabkan Tutur Kumaratattwa mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukis kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya.
Maka dari itu, pengkajian melalui penulisan terhadap Tutur Kumarattwa perlu dilakukan guna memenuhi kebutuhan bahan bacaan bagi masyarakat. Dengan membaca teks-teks suci, maka kesadaran dan keimanan masyarakat akan perlahan-lahan bangkit, sebab membaca teks suci dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci. Budi nurani suci dapat menguasai pikiran (manah). Pikiran (manah) yang kuat akan mengendalikan nafsu (indria). Nafsu (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan untuk berpegang pada Dharma. Perbuatan yang berpegang pada Dharma akan menghasilkan pahala mulia berupa ananda, yaitu kehidupan bahagia lahir dan batin. Apa yang dimaksud dengan Susila? Apa isi dari Lontar Tutur Kumaratattwa ? Bagaimana hubungan Susila dengan lontar Tutur Kumaratattwa?

A. Pengertian Tata Susila
            Tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila ialah untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (jiwatman) dengan mahkluk yang hidup disekitarnya, perhubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan dan antara manusia dengan alam sekitarnya. (A.A Raka Asmariani, 2010 : 2). Telah menjadi kenyataan bahwa perhubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan mahkluk sesamanya, antara anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh dan ambruk. Perhubungan yang rukun (selaras) berarti kebahagiaan dan perhubungan yang kacau, atau tidak rukun berarti mala petaka.
            Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia dan berpribadi mulia, serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagiaan. Selain dari pada itu, tata susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan sesame mahkluk sesamanya dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuanjiwatman dengan paramatma (Brahman). Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi Wasa yang dapat memeberikan kebahagiaanyang diliputi oleh perasaan tenang dan tentram karena murninya roh (atma) yang disebut dalam istilah Sanskrit ananda. Didalam Bhagawadgita VI, 20, 21 Cri Krsna menerangkan kepada arjuna, mengenai ananda atau kebahagiaan rohani yang kekal disebabkan oleh jiwatman dapat mencapai kesatuannya Hyang Widhi (Paramatman). Berdasarkan realitas manusia dapat membedakan baik dan buruk dalam tingkah lakunya. Masalah baik dan buruk pada umumnya baik dan buruk tingkah laku manusia pada khususnya perlu diketahui dan manusia beragama wajib melaksanakan yang baik dalam kehidupan bermasyarkat, kalau orang itu ingin mendapatkan predikat tingkah lakunya sesuai dengan martabat manusia insane hamba Tuhan Yang Maha Esa.
            Manusia tidaklah hanya sekedar hidup tanpa tujuan, melainkan manusia hidup di dunia penuh dengan berbagai tujuan, yakni hidup bahagia dan hidup sejahtera didunia fana (jagadhita) dan akhirat (moksa). Manusia mempunyai keinginan untuk mencapai, memiliki dan mempergunakan sesuatu guna mencapai kebutuhan hidupnya sebagai manusia budaya dalam dunia agama. Mahkluk yang termulia didunia selalu mempunyai cita-cita untuk menyempurnakan diri, hidup mandiri dalam suasana harga menghargai satu dengan yang lainnya. Kemudian manusia terletak bukan pada apa yang mereka lakukantetapi pada cara bagaimana ia melakukan itu. Karena dasar hidup etis terletak bukan kepada apa yang mungkin, melainkan pada apa yang baik, yang harus dilakukan. Prinsip-prinsip etika (kesusilaan) berdasarkan kodrat integral manusia, yaitu kodrat rohani-jasmani yang harus menuju perkembangannya yang sejati. Manusia mempunyai kodrat tertentu dan cara berada yang tertentu. Maka kodrat itupun harus mencapai perkembangan yang tertentu dan atau kesempurnaan tertentu. Kesempurnaan itu dalam hidup didunia ini dilaksanakan dengan kesusilaan hidup etis. Secara umum disadari bahwa banyak orang yang pengertiannya tentang etika (kesusilaan) untuk memberikan pengertian yang reflesif. Jangan lalu orang yang hanya puas memiliki rohaninya berdasarkan satu alasan saja. Sikap demikian bertentangan dengan perkembangan jiwa dan akal budi. Sikap yang demikian tidak hanya dengan perkembangan jiwa dan akal budi. Sikap yang demikian tidak hanya tahan uji terhadap berbagai aliran dan berbagai praktek yang menentangnya.
            Etika dinyatakan dengan tepat dalam bahasa Indonesia oleh perkataan kesusilaan atau tata susila yang terdiri dari kata “su”, baik, benar, dan “sila” dasar. Dalam kata “su” tersimpul pengertian sikap, keindahan, kaidah, perintah, norma. Jadi kesusilaan mengandung dua pengertian, pertama mengandung tentang pengertian dan menerangkan bahwa norma itu baik, dua pengertian yang menunjukkan sikap terhadap semua norma itu dan menegaskan bahwa tingkah laku manusia harus sesuai dengan norma atau perintah agama yang berasal dari wahyu. (A.A Raka Asmariani, 2010 :4). Titik tolak peninjaunnya adalah masalah kebaikkan atau keburukkan, keharusan, kebajikan, dan pahalanya orang harus memiliki yang baik dan menjadi yang tidak baik (menghindari asubha karma). Berdasarkan pengalaman tingkah laku seseorang dikatakan baik atau buruk. Perbuatan baik mendapatkan pujian sebaliknya perbuatan buruk, mendapatkan celaan atau cercaan, maka itu manusia tidak hanya saja harus dapat membedakan baik atau buruk akan tetapi lebih penting lagi ialah selalu berbuat dan bertindak bertingkah laku baik dan menghindari perbuatan buruk.

1.   Dasar Tata Susila
            Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat landasan bangunan, dimana bangunan harus didirikan. Jika landasan itu tidak kuat maka bangunannya akan mudah roboh. Demikian juga halnya dengan tata susila, bila tidak dibangun diatas dasar agama yang sebagai landasan yang kokoh dan kekal maka tata susila itu tudak mendalam dan tidak meresap dalam diri pribadi manusia. Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama atau yang berpedoman atas ajaran kerohanian sebagai yang terdapat dalam kitab suci upanisad (wedanta), tattwa-tattwa (tutur-tutur), mulai dengan dalil atau axioma yang mengakui tunggalnya jiwatman semua mahluk dengan paramatman yang tutur di Bali menyebut dengan nama parama Ciwa.
            Jika tata susila mendasarkan ajarannya hanya kepaa ke-esaan Sang Hyang Widhi Wasa saja yang menyadari dasar semua makhluk maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan yang tidak baik dilakukan oleh seseorang atau pada tetangganya, berarti berbuat baik dan yang tidak baik kepada dirinya sendiri, umpamanya melukai tangan, juga akan mempengaruhi bagian badan lainnya, meskipun tidak ada lukanya karena didasarkan sakit itu datangnya dari bagian badan. Jika kita merasakan ini maka kita akan selalu berbuat baik, untuk kebaikan semua makhluk (Tatwam Asi dan Aham Brahma Asmi). Karena kita jarang menyadari kebenaran ini perlu ada peraturan tata susila yang pada pokoknya menghalangi perbuatan menyiksa orang lain dan juga diri sendiri.

2 Kedudukan Tata Susila
            Tata susila bergerak dalam lapangan kesusilaan dengan norma-norma yang seharusnya berlaku dan ketetapan bathin pada norma-norma itu. Jadi tata susila berkedudukan sebagai ilmu pengetahuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya agar perbuatannya tidak menyimpang dari sabda Hyang Widhi Wasa. Maka itu tata susila merupakan bagian yang tak terpisah dari agama hindu, yang mengatur dan menentukan tingkah laku manusia. Hubungan dengan sesamanya dan hubungan dengan Tuhan. Berdasarkan uraian diatas dapatlah dikatakan bahwa tata susila mempunyai kedudukan yang amat penting dalam teologi Hindu, sebab dengan demikian dapat menyatakan kasih sayang Hyang Widhi Wasa. Karena tata susila merupakan landasan dan pedoman bagi umat manusia dala mengarungi lautan kehidupan di dunia fana (jagadhita) dan akhirat (moksa).
            Manusia bersifat rohani dan jasmani. Kesatuan itu disebut mono – dualis. Karena jasmaninya manusia adalah makhluk badani dan harus menjalankan hidupnya didunia ini. Dia harus bersikap, bertindak, bergerak, dan bekerja untuk pertumbuhan dan kesehatannya. Manusia tidak hanya memerlukan makan, tetapi juga harus mengerti apa yang dimakan dan bagaimana cara makan yang benar. Dalam membuat sesuatu, manusia tidak saja memikirkan apa yang mungkin, tetapi juga harus mengerti dan memikirkan apa yang baik dan benar. Hakekat kerohaniannya mendorong manusia untuk selalu berbuat suci yaitu segala tindakan, perkataan, dan pikirannya tidak menyimpang dari ajaran suci Veda. Kesucian itu merupakan tangga untuk mendapatkan kebahagiaan abadi (Suka Tan Pawali Duka), yaitu bersatunya atma dengan Brahman.

3. Tujuan Tata Susila
            Manusia diciptakan Sang Hyang Widhi Wasa untuk berbuat baik, yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, danketentraman. Kewajiban manusia sebagai karmanam (pekerja Tuhan) adalah selalu bertingkah laku baik sedangkan hasilnya diserahkan kepada Hyang Widhi Wasa untuk menentukannya. Hyang Widhi bersifat Maha ada, maha kuasa, maha kasih, karena itu selalu melimpahkan anugrahnya dan memberikan pahala kepada setiap orang yang telah mengamalkan kebaikan (swadharmanya). Karena Hyang Widhi selalu mengasihi manusia, maka manusiapun harus terus berterima kasih kepada perbuatan baik (susila).
            Perbuatan, tingkah laku manusia adalah baik dan benar, jika hal itu membawa manusia kepada kesempurnaan kebaikkan. Kebaikan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh segalanya. Manusia menentukan sikapnya dan mengatur tingkah lakunya untuk mencapai sasaran antara kebahagiaan dan kesejahteraan duniawi, dan kemudian sasaran pokok sasaran akhir (moksa) merupakan kebahagiaan tertinggi. Perbuatan baik, tingkah laku baik disebut pula kebaikan moral. Tingkah laku manusia mendapatkan kebaikan moral dan tujuan akhir yang dicita-citakan. Hidup sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan Dharma, sehingga nantinya tidak mengalami kelahiran kembali. Jadi tujuan tata susila adalah untuk membina tingkah laku manusia (moral) agar menjadi manusia yang berbudi luhur dan berpribadi mulia, yang menjalar pada tingkah laku dan perbuatan-perbuatan sehari-hari. Tata susila juga menghendaki kehidupan yang harmonis serta selaras. Sebagai bagian dari alam semestamaka manusia harus dapat memelihara linkungan hidupnya, yaitu lingkungan tempat tinggal. Seorang insane Hyang Widhi yang memiliki sradha yang kuat memandang bahwa segala perintah agama adalah sebagai kebutuhan dalam hidupnya. Oleh karena itu selalu merasa wajib untuk melakukannya. Maka akan timbul penyesalan, rasa dosa, karena kehausannya akan perlindungan Hyang Widhi tak terpenuhi.

B. Hidup dan Pengendalian Diri dalam Lontar Tutur Kumaratattwa
Tutur Kumaratattwa merupakan salah satu dari ribuan naskah yang diwarisi masyarakat Bali saat ini. Tutur Kumaratattwa berisi ajaran filosofis tentang mengapa manusia menderita dan bgaimana manusia melepaskan diri dari penderitaan itu. Dalam Tutur Kumaratattwa (2003 : 65) dijelaskan bahwa Bhatara Kumara berperan sebagai seorang pengembala. Ia tinggal sendiri di sebuah lading pengembalaan bernama Argakuruksana. Karena sudah lama berada di tempat pengembalaan itu, Bhatara Kumara merasa bosan. Ia menganggap apa yang dialami dan lakukannya di lading pengembalaan itu tiada sebagai sebuah kepapaan hidup. Ia bukan mengembalakan sapi, tetapi ia mengembalakan Dasendria (sepuluh nafsu), yang termanifestasikan dalam bentuk batin, cita-cita berlebihan menyebabkan kerja, budi berlebihan menimbulkan sikap suka mencela, hasrat berlebihan menimbulkan kerakusan, suara berlebihan menimbulkan keangkaraan, kekuatan berlebihan menimbulkan suka menipu, pikiran berlebihan menimbulkan kebingungan, omongan berlebihan berakibat suka mencerca, lupa berlebihan berakibat tidak tahu sumbernya, perjalanan berlebihan berakibat tujuan yang tidak jelas. Menurut Bhatara Kumara, semua itu merupakan sumber-sumber penderitaan yang muncul akibat Dasendria (sepuluh indria).

Nafsu indria (kama) merupakan salah satu musuh (ripu) dari enam musuh (sadripu) yang ada di dalam diri setiap orang. Sadripu (enam musuh) terdiri atas kama (nafsu), lobha (serakah, rakus), krodha (marah), mada (mabuk), moha (kebingungan), matsarya (iri hati, dengki). Keenam musuh (sadripu) itu timbul akibat sifat-sifat manusia yang berlebihan. Keenam musuh itu menjauhkan manusia dari kebahagiaan hidupnya dan merupakan sumber kesengsaraan bagi kehidupan manusia.
Menurut Tutur Kumaratattwa, dasendria (sepuluh nafsu) di dalam diri manusia menyebabkan sepuluh macam kotoran yang dinamakan dasamala. Dasamala merupakan raja nafsu yang tiada lain adalah Dasamukha (Rahwana). Nafsu itu akan terus mengalir membelenggu kehidupan manusia. Dalam ajaran agama Hindu dijelaskan adanya tuntunan susila yang mengingatkan kita untuk selalu mengendalikan nafsu atau keinginan-keinginan tersebut tetapi bukan mematikannya. Sebab dengan tidak mematikan keinginan-keinginan itu, maka setiap orang masih memiliki gairah hidup, semangat hidup, namun keinginan-keinginan itu perlu dikendalikan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan mengendalikan keinginan tersebut, setiap orang akan selalu sadar pada dirinya (Raka Mas, 2002 : 39).

Tutur Kumaratattwa menjelaskan bahwa meruat kepapaan (dosa) akibat dasamala itu bukanlah hal yang mudah. Begitu pula ada delapan kekuatan dalam diri manusia yang dapat membuat hidup manusia menjadi papa, yang dinamakan astadewi atau pracanamaya, yaitu terdiri atas : (1) jayasidi adalah kekuatan pikiran yang bersikukuh pada kemampuan diri berlebih, senang dipuji, tak mau mengalah, (2) caturasani adalah suka mengumbar kehendak, suka mencela orang lain, (3) namadewi adalah sifat egois, suka mengutuk, berlagak kuasa, (4) mahakroda adalah adalah suka marah, suka berbohong, buta hati dan sangat kasar, (5) camundi adalah suka berkata berbelit-belit, tidak tetap pendirian, tidak berbakti, menang sendiri, (6) durgadewi adalah berpikir ruwet, tidak cermat, selalu berperilaku jahat, (7) sirni adalah suka bersenang-senang, batinnya hampa, tidak mau berpulang pada diri sendiri, suka mengaku-ngaku; dan (8) wighna adalah penuh nafsu, suka berkata melambung tunggi, suka menghina kebaikan, selalu bingung.

Kedelapan sifat tersebut di atas membuat manusia berada dalam kepapaan, selalu diselimuti kesulitan-kesulitan karena batin manusia dibuat goyah, mimbang, dan ragu. Untuk mengantisipasi pengaruh sifat-sifat astadewi, Tutur Kumaratattwa menjelaskan ada delapan cara pembersihan batin agar telepas dari pengaruh kotor, yang dinamakan astalingga, yaitu : (1) sudha adalah penyucian pikiran, (2) sphatika adalah menenangkan pikiran, (3) sunya adalah mengosongkan pikiran, (4) mahatana adalah memikirkan hal-hal yang luhur, (5) prabhaswara adalah membawa pikiran memenuhi alam semesta, (6) nirawarana adalah membawa pikiran tiada terbatas, (7) nirmala adalah menghindarkan pikiran dari hal-hal kotor, dan (8) niskala adalah membuat pikiran tidak goyah.
Bhatara Kumara telah meninggalkan astadewi sebagai sumber kepapaan yang membelenggu batinnya dengan cara menerapkan astalingga. Kemudian, Bhatara Maheswara menganugrahkan delapan sifat kemuliaan kepada Bhatara Kumara, yaitu (1) saraswati adalah kemampuan dan pengetahuan untuk memahami ajaran agama, (2) laksmi adalah kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk, (3) upeksa adalah peka mengatasi kesulitan, (4) karuna adalah saying kepada semua mahluk, (5) mudita adalah bersikap simpati dan adil, (6) santa adalah bertutur kata manis, (7) prajna adalah mengutamakan kebaikan, (8) parimita adalah sadar kepada diri sendiri sebagai sesuatu yang terbatas adanya.

1. Pembebasan Sempurna dalam Lontar Tutur Kumaratattwa 
Sebagaimana dikisahkan dalam naskah Kumara Tattwa setelah Sang Hyang Kumara mendapatkan kekuatan dari Bhatara Guru, maka Sang Hyang Kumara menghilang dan tidak dapat diketahui keberadaannya oleh para dewata. Sementara itu, Bhatara Jati Niyasa melakukan pemujaan kepada Bhatar Guru, maka itu Bhatara Jati Nitiyasa pun berhasil mendapatkan kesaksian sebagaimana Sanghyang Kumara. Karena itu, Bhatara Jati Nityasa bertemu dengan Sanghyang Kumara. Begitu pula, Bhatara Guru juga menunggal bersamanya. Wujud penunggalanNya merupakan kekosongan , alam kekosongan (sunyapada) dimana budi tak terikat waktu (buddhi niskala). Dia merupakan sumber adanya asal dan tujuan. Hal itulah yang disebut dengan Pembebasan Sempurna dalam Lontar Tutur Kumaratattwa.

Dalam Tutur Kumaratattwa (2003 : 76), ada tiga perwujudan Tuhan, yaitu Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. Hakikat Siwa diumpamakan matahari membayangi air di dalam tempayan. Sadasiwa bagaikan matahari bersinar. Paramasiwa bagaikan langit. Ketiganya akan saling bersambut. Siwa adalah jiwa dari tubuh, sumber tunggal yang berwujud banyak. Sadasiwa merupakan yang tunggal, tetapi menyerap dan menyusupi segalanya, bagaikan api dalam bara memenuhi tungku. Paramasiwa merupakan hal yang tak terbayangkan, tidak berwujud. Siwa adalah segala yang memenuhi alam semesta. Dia adalah jiwa Brahman. Sadasiwa menyerap dan melimuti seluruh kelahiran, menebar dan menggaib dalam setiap mahkluk. Paramasiwa tak terbayangkan dan meresap dalam seluruh mahluk, berada dalam unsur tetapi bukan unsure itu sendiri, berada dalam tubuh tetapi bukan tubuh itu sendiri, ada di alam kosong tetapi tidak kosong. Siwa merupakan sumber segala yang ada. Sadasiwa menguasai segalanya. Paramasiwa adalah hakikat yang tertinggi. Dia akan menjadi nyata dan terkira apabila perwujudan-Nya yang rahasia dalam pikiran dibayangkan dalam batin dan dapat diperbanyak. Dia akan menjadi nirbana jika wujud-Nya hilang dalam kaheningan batin, diri dan di alam semesta.

C.  Hubungan Susila Dengan Tutur Kumaratattwa
            Relevansi kajian Tutur Kumaratattwa terhadap kehidupan bangsa dan Negara masa kini adalah bahwa dalam keadaan bangsa dan Negara yang dilanda krisis berkepanjangan telah membawa berbagai dampak negative dalam berbagai kegidupan masyarakat. Peradaban manusia meluntur sehingga manusia seolah-olah tidak lagi beradab tetapi menjadi biadab. Pembunuhan, pembakaran, perampokan, pemerkosaan, dan berbagai kejahatan lainnya muncul di mana-mana. Rasa kemanusiaan, moral, dan budi pekerti seperti telah tenggelam ditelan keserakahan nafsu. Manusia cenderung kepada pola kehidupan materialistis, mengejar artha (kekayaan) dan kama (nafsu) tanpa memperdulikan dharma. Manusia lupa akan jati dirinya. Untuk membangkitkan kembali kesadaran manusia pada jatidirinya, maka teks-teks suci sangat berperan penting dalam kegiatan pencerahan perasaan bakti dan sebagai penuntun konsentrasi pikiran menuju sebuah kebenaran. Hal ini disebabkan Tutur Kumaratattwa mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran tuhan dalam berbagai manifestasiNya. Dalam ajaran susila kita mengenal cara mengndalikan diri dan menjaga hubungan antar sesama seperti berikut :

1. Tatwan Asi
Tatwam Asi mengajarkan bagaimana kewajiban kita mengasihi orang lain sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan makmur. Tatwan Asi selalu mengamalkan cinta kasih bakthi dan rela beryadnya (berkorban).

2. Tri Kaya Parisudha dan Karma Patha
Tri Kaya Parisudha adalah tiga laksana yang benar menurut ajaran agama hindu yang masing-masing disebut kayika (tingkah laku yang baik), wacika (perkataan yang baik), manacika (pikiran yang baik). Tingkah laku, pikiran, perkataan, yang baik dapat dipelihara dengan karma patha, yaitu pengendalian. Dengan akal atau rasio yang dikaruniakan Tuhan kepada kita maka kita harus dapat mengendalikan tingkah laku dan perkataan melalui analisis logis tentang yang baik dan yang buruk. Justru dalam kemampuan membedakan antara yang baik, yang benar dan yang buruk atau yang jahat itulah letak kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lain.

3. Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha adalah sepuluh macam pengendalian diri atau sikap mental. Dalam Saramucaya sloka 260 disebutkan sebagai berikut ; inilah brata sepuluh yang banyaknya yang disebut, Nyama, yang penciriannya : dana, ijiya, dhyana, swadhyaya, upasthanigraha, brata, mona, snana, itulah yang merupakan Nyama, yang masing-masing dapat dijelaskan.
Dana, yaitu rela berdana punia. Orang yang suka beramal akan mendapatkan imbalan jasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Caranya mendapatkan sesuatu hendaklah berdasarkan Dharma, dana yang diperoleh karena berusaha hendaknya dibagi tiga, yaitu untuk memenuhi karma dan melakukan kegiatan dalam bidang usaha ekonomi agar berkembang kembali.
Ijiya, yaitu hormat kepada orang tua dan leluhur, menurut ajaran Tri Rna setiap orang wajib harus membyar hutang budhi kepada leluhur, orang tua, sebab mereka itulah menjadi jalan kelahiran kita kedunia dan menjadikan manusia berguna.
Tapa, yaitu melatih diri agar dapat mencapai ketenangan hati, ketentraman bathin . dalam Sarasamucaya 103 disebutkan, inilah yang harus diperhatikan baik-baik yaitu tapa hendaknya selalu dipegang teguh dan dilaksanakan dengan tekun.
Dharma yaitu, tekun memusatkan cita, rasa, dan karsa kepada Hyang widhi wasa. Tuhan bersifat maha kasih dan maha pemurah maka itu bagi mereka yang berbuat tentu akan mendapatkan imbalan sesuai dengan karma mereka.
Uphastananigraha, yaitu selalu mengendalikan hawa nafsu. Dalam Sarasamucaya 76 disebutkan, inilah yang tidak patut dilaksanakan yaitu membunuh, mencuri, dan berbuat zinah. Ketiganya itu janganlah dilakukan baik secara berolok-olok berseda gurau, baik dalam keadaan darurat atau khayalan sekalipun.
Bratha, yaitu mengekang diri terhadap makanan dan minuman atau taat kepada sumpah, kepada janji, sumpah merupakan pernyataan atau dinodai, bratha dalam arti tidak makan dan tidak minum dilakukan pada hari raya siwa ratri, pada hari raya nyepi tilem kesanga.
Upawasa, yaitu melaksanakan puasa, tidak makan dan tidak minum hari-hari tertentu hingga tercipta rasa dan karsa dapat terpusat dan tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mona, yaitu membatasi perkataan, tidak berbuat seenaknya, tidak ngobrol yang tidak menentu, dapat membedakan waktu bermain dan waktu bersungguh-sungguh.
Swadyaya, tekun mempelajari dan mendalami kitab suci dan pengetahuan lainnya yang berguna untuk meningkatkan taraf hidup dan meninggikan kebudayaan.
Upawasa, yaitu melaksanakan puasa pada hari-hari tertentu misalnya pada hari raya nyepi dan siwaratri.

4. Dasa yama Bratha
Dasa Yama Brata adalah sepuluh pengendalian diri terhadap hawa nafsu yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam mengarungi kehidupan ini agar tercapainya kebahagiaan abadi. Sepuluh pengendalian itu yaitu :
Angresangsea yaitu, mementingkan diri sendiri tidak egois, setiap orang dilahirkan ditengah-tengah masyarakat dan didalam pertumbuhan serta perkembangan pribadinya dipngaruhi pula oleh lingkungan itu. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani, setiap orang memerlukan bantuan orang lain, maka itu orang tidak dapat memisahkan diri dari masyarakat selama ia masih harus menjalankan dharma dan kama.
Ksama, ialah suka mengampuni dan tahan uji dalam menghadapi pasang surutnya gelombang kehidupan.
Satya, ialah jujur dan setia sehingga menyenangkan orang lain, orang tua dan selalu disenangi dalam pergaulan, setia kepada teman, dan setia kepada perkataan dan memberikan kebahagiaan kepada janji.
Ahimsa, ialah tidak menyiksa atau membunuh makhluk hidup yang tidak berdosa/ tidak bersalah. Maka itu perhatikanlah segala perbuatan dengan memahami apa yang disebut dharma. Segala yang tidak menyenangkan diri anda janganlah hal itu dilakukan kepada orang lain, demikian ditegaskan oleh para Rsi.
Dama, ialah dapat menasehati diri sendiri. Maksudnya ialah orang yang harus dapat mengendalikan diri dengan menguasai indriyanya (nafsu). Dama adalah ketenangan hati yang menyebabkan orang sadar dan tentram dalam hidupnya.
Arjawa, ialah dapat mempertahankan kebenaran artinya berani mengemukakan dan berpegang teguh kepada pendapat yang benar. Kebenaran adalah keutamaan. Kebaikan timbul dari kebenaran mengatasi segalanya itu.
Priti, ialah cinta kasih sayang kepada sesama makhluk hidup, “Brahman Atman Aikyam”demikian ajaran suci mengatakan, yang mengandung arti bahwa brahma dan atma itu sesungguhnya adalah tunggal.
Prasada ialah, brpikir dan berhati suci tanpa pamrih. Rsi Krisna mengajarkan agar selama hidup di dunia ini selalu giat bekerja, akan tetapi tidak meningkatkan diri kepada hasil kerja. Janganlah pahala menjadi motifasi kegiatan.
Madhurya, ialah ramah tamah dan sopan santun, ramah berarti selalu bersifat baik terhadap siapa saja dan sopan berarti senantiasa berbuat wajar.
Madharwa, ialah rendah hati dan tidak sombong. Para rsi mengajarkan agar kita senantiasa berbuat baik dan menobatkan diri secara wajar dalam pergaulan dimasyarakat.

Kesimpulan
            Jadi dalam Lontar Tutur Kumaratattwa dapat disimpulkan bahwa Bhatara Kumara berperan sebagai seorang pengembala. Ia tinggal sendiri di sebuah lading pengembalaan bernama Argakuruksana. Karena sudah lama berada di tempat pengembalaan itu, Bhatara Kumara merasa bosan. Ia menganggap apa yang dialami dan lakukannya di lading pengembalaan itu tiada sebagai sebuah kepapaan hidup. Ia bukan mengembalakan sapi, tetapi ia mengembalakan Dasendria (sepuluh nafsu), yang termanifestasikan dalam bentuk batin, cita – cita berlebihan menyebabkan kerja, budi berlebihan menimbulkan sikap suka mencela, hasrat berlebihan menimbulkan kerakusan, suara berlebihan menimbulkan keangkaraan, kekuatan berlebihan menimbulkan suka menipu, pikiran berlebihan menimbulkan kebingungan, omongan berlebihan berakibat suka mencerca, lupa berlebihan berakibat tidak tahu sumbernya, perjalanan berlebihan berakibat tujuan yang tidak jelas. Menurut Bhatara Kumara, semua itu merupakan sumber-sumber penderitaan yang muncul akibat Dasendria (sepuluh indria).
Menurut Tutur Kumaratattwa, dasendria (sepuluh nafsu) di dalam diri manusia menyebabkan sepuluh macam kotoran yang dinamakan dasamala. Dasamala merupakan raja nafsu yang tiada lain adalah Dasamukha (Rahwana). Nafsu itu akan terus mengalir membelenggu kehidupan manusia. Dalam ajaran agama Hindu dijelaskan adanya tuntunan susila yang mengingatkan kita untuk selalu mengendalikan nafsu atau keinginan-keinginan tersebut tetapi bukan mematikannya. Sebab dengan tidak mematikan keinginan-keinginan itu, maka setiap orang masih memiliki gairah hidup, semangat hidup, namun keinginan-keinginan itu perlu dikendalikan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan mengendalikan keinginan tersebut, setiap orang akan selalu sadar pada dirinya
Lalu Sebagaimana dikisahkan dalam naskah Kumara Tattwa setelah Sang Hyang Kumara mendapatkan kekuatan dari Bhatara Guru, maka Sang Hyang Kumara menghilang dan tidak dapat diketahui keberadaannya oleh para dewata. Sementara itu, Bhatar Jati Niyasa melakukan pemujaan kepada Bhatar Guru, maka itu Bhatara Jati Nitiyasa pun berhasil mendapatkan kesaksian sebagaimana Sanghyang Kumara. Karena itu, Bhatara Jati Nityasa bertemu dengan Sanghyang Kumara. Begitu pula, Bhatara Guru juga menunggal bersamanya. Wujud penunggalanNya merupakan kekosongan , alam kekosongan (sunyapada) dimana budi tak terikat waktu (buddhi niskala). Dia merupakan sumber adanya asal dan tujuan. Hal itulah yang disebut dengan Pembebasan Sempurna dalam Lontar Tutur Kumaratattwa.
Relevansi kajian Tutur Kumaratattwa terhadap kehidupan bangsa dan Negara masa kini adalah bahwa dalam keadaan bangsa dan Negara yang dilanda krisis berkepanjangan telah membawa berbagai dampak negative dalam berbagai kegidupan masyarakat. Peradaban manusia meluntur sehingga manusia seolah-olah tidak lagi beradab tetapi menjadi biadab. Pembunuhan, pembakaran, perampokan, pemerkosaan, dan berbagai kejahatan lainnya muncul di mana-mana. Rasa kemanusiaan, moral, dan budi pekerti seperti telah tenggelam ditelan keserakahan nafsu. Manusia cenderung kepada pola kehidupan materialistis, mengejar artha (kekayaan) dan kama (nafsu) tanpa memperdulikan dharma. Manusia lupa akan jati dirinya. Untuk membangkitkan kembali kesadaran manusia pada jatidirinya, maka teks-teks suci sangat berperan penting dalam kegiatan pencerahan perasaan bakti dan sebagai penuntun konsentrasi pikiran menuju sebuah kebenaran. Hal ini disebabkan Tutur Kumaratattwa mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran tuhan dalam berbagai manifestasiNya.

DAFTAR PUSTAKA

Kamajaya, Gede. 2001. Alam Kehidupan Sesudah Mati. Surabaya: Paramita
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. 2003. Kajian Naskah Lontar Tutur Kumaratattwa. Denpasar
Raka Mas, A.A.G. 2002. Tuntunan Susila Untuk Meraih Hidup Bahagia. Surabaya: Paramita
Nada Atmaja I Made, Dkk, 2010, Etika Hindu, Paramita : Surabaya
Raka Asmariani Anak Agung, 2010, Tata Susila Hinsu 1, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar : Denpasar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"PROSES KEMATIAN MANUSIA PADA CERITA SWARGAROHANA PARWA"